Minggu, 25 Maret 2012

makalah IBD

MANUSIA DAN KEADILAN


PENDAHULUAN

Manusia sebagai makhluk Tuhan adalah makhluk tertinggi yang memiliki gejala-gejala istimewa yang hanya terdapat pada manusia saja, dan tidak terdapat pada benda mati ataupun benda hidup seperti pada hewan ataupun tumbuh-tumbuhan. Gejala-gejala istimewa itu bisa kita golongkan menjadi tiga jenis yang disebut akal, rasa, dan kehendak akal. Rasa dan kehendak ini menyatu dalam diri manusia yang terdiri atas manunggalnya jiwa dan raga yang kemudian menjadikan sumber-sumber kemampuan, kecerdasan ataupun kecakapan manusia dalam mengatur hidupnya. Sumber kemampuan inilah yang menjadikan manusia sebagai pencipta yang kedua sesudah Tuhan.
Di dalam mengatur hubungan kodrat manusia, perlu adanya keserasian, keseimbangan, kesesuaian ataupun kesamaan dalam tingkah laku baik untuk kepentingan pribadi (individu) ataupun untuk kepentingan masyarakat. Kemampuan yang demikian itu, menjelma sebagai tingkah laku adil yang kemudian menjadi tujuan umat manusia dalam mengatur kehidupannya. Oleh sebab itu, tingkah laku adil atau keadilan menjadi tumpuan harapan manusia, semua orang menghendaki keadilan.
















PEMBAHASAN

1.      Makna Keadilan
Keadilan adalah pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban. Jika kita mengakui hak hidup kita, maka sebaliknya, kita wajib mempertahankan hak hidup tersebut dengan bekerja keras tanpa merugikan orang lain. Sebab orang lain pun mempunyai hak hidup seperti itu. Jika pun kita mengakui hak hidup orang lain, kita wajib memberikan kesempatan kepada orang lain itu untuk mempertahankan hak hidupnya, sebagaimana kita mempertahankan hak hidup kita sendiri. Jadi keadilan pada pokoknya terletak pada keseimbangan atau keharmonisan antara menuntut hak dan menjalankan kewajiban.[1]
Sedangkan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S. Poerwadarminta, kata adil berarti tidak berat sebelah atau tidak memihak ataupun tidak sewenang-wenang. Dengan demikian, keadilan mengandung pengertian berbagai hal yang tidak berat sebelah atau tidak memihak atau tidak sewenang-wenang.[2]
Orang yang berbuat adil, kebalikan dari fasiq. Adil adalah sendi pokok didalam soal hukum. Setiap orang harus merasakan keadilan. Perbedaan tingkat dan kedudukan sosial, perbedaan derajat dan keturunan, tidak boleh dijadikan sebagai alasan untuk memperbedakan hak seseorang di hadapan hukum, baik hukum Tuhan maupun hukum yang dibuat manusia. Adil tidak hanya idaman manusia, tetapi juga diperintahkan oleh Tuhan dalam QS. Al-Maidah: 42 dan QS. Al-Maidah: 49.[3]
Keadilan pada umumnya perlu diperoleh bahkan kalau terpaksa dituntut. Akan tetapi, untuk memperoleh keadilan biasanya diperlukan pihak ketiga sebagai penengah. Dengan harapan, pihak ketiga ini dapat bertindak adil terhadap pihak yang
berselisih. Ia harus netral, tidak boleh menguntungkan satu pihak. Pihak ketiga sangat diperlukan karena tanpa kehadirannya, pihak yang berselisih akan bersifat konfrontatif yang bila dibiarkan dapat mengarah pada kekerasan.[4]
Manusia sebagai makhluk berakal budi, berjasmani dan sebagai makhluk sosial, dalam hubungannya dengan sesama akan mudah mengalami konflik. Untuk menghindari hal tersebut, diciptakanlah hukum yang mempunyai fungsi dasar untuk mencegah agar konflik kepentingan itu dipecahkan dalam konflik terbuka. Pemecahannya bukan atas dasar siapa yang kuat, melainkan berdasarkan aturan (hukum) yang tidak membedakan antara orang kuat dan orang lemah. Karena, setiap masyarakat memerlukan hukum, maka dikatakanlah bahwa dimana ada masyarakat disana ada hukum (ubi societeas ini ius).[5]
Ditinjau dari bentuk ataupun sifat-sifatnya, keadilan dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis :
a.       Keadilan legal atau keadilan moral.
b.      Keadilan Distributif.
c.       Keadilan Komutatif.[6]

2.      Kejujuran
Kejujuran atau jujur artinya apa yang dikatakan seseorang sesuai dengan hati nuraninya, apa yang dikatakannya sesuai dengan kenyataan yang ada. Sedang kenyataan yang ada itu adalah kenyataan yang benar-benar ada. Jujur juga berarti seseorang bersih hatinya dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama dan hukum. Untuk itu, dituntut satu kata dan perbuatan, yang berarti bahwa apa yang dikatakan harus sama dengan perbuatannya.[7]
Belajarlah bersifat jujur, sebab kejujuran mewujudkan keadilan, sedang keadilan maupun kemuliaan adalah abadi. Jujur memberikan keberanian dan ketentraman hati, serta menyucikan, lagi pula membuat luhurnya budi pekerti.[8]
Pada hakikatnya jujur atau kejujuran dilandasi oleh kesadaran moral yang tinggi, kesadaran pengakuan akan adanya persamaan hak dan kewajiban, serta adanya rasa takut terhadap kesalahan atau dosa.[9]
Untuk mempertahankan kejujuran, berbagai cara dan sikap perlu dipupuk. Namun, demi sopan santun dan pendidikan, orang diperbolehkan berkata tidak jujur sampai batas-batas yang dapat dibenarkan.[10]

3.      Kecurangan
Kecurangan atau curang identik dengan ketidakjujuran atau tidak jujur, dan sama pula dengan licik, meskipun tidak serupa benar. Sudah tentu kecurangan sebagai lawan jujur. Curang atau kecurangan artinya apa yang dikatakan tidak sesuai dengan hati nuraninya. Atau orang itu memang dari hatinya sudah berniat curang dengan maksud memperoleh keuntungan tanpa bertenaga dan usaha.[11]
Kecurangan menyebabkan manusia menjadi serakah, tamak, ingin menimbun kekayaan yang berlebihan dengan tujuan agar dianggap sebagi orang yang paling hebat, paling kaya, dan senang bila masyarakat disekelilingnya hidup menderita. Orang seperti itu biasanya tidak senang bila ada yang melebihi kekayaannya. Padahal agama apapun tidak membenarkan orang mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya tanpa menghiraukan orang lain, lebih pula mengumpulkan harta dengan jalan curang. Hal semacam ini dalam istilah agama tidak diridhai Tuhan.[12]
Bermacam-macam sebab orang melakukan kecurangan. Ditinjau dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya, ada empat aspek yakni aspek ekonomi, aspek kebudayaan, aspek peradaban, dan aspek teknik. Apabila keempat aspek tersebut dilaksanakan secara wajar, maka segalanya akan berjalan sesuai dengan norma-norma moral atau norma hukum. Akan tetapi, apabila manusia dalam hatinya telah digerogoti jiwa tamak, iri, dengki, maka manusia akan melakukan perbuatan yang melanggar norma tersebut, dan terjadilah kecurangan.[13]
Kecurangan banyak menimbulkan daya kreativitas bagi seniman. Oleh karena itu, banyak hasil seni yang lahir dari imajinasi kecurangan. Hasil seni itu, antara lain seni tari (sendratari), seni sastra (novel, roman, cerpen), drama, film dan lain-lain.[14]

4.      Pemulihan Nama Baik
  Nama baik adalah nama yang tidak tercela. Setiap orang menjaga dengan hati-hati agar namanya tetap baik. Lebih-lebih jika ia menjadi teladan bagi orang/tetangga disekitarnya adalah suatu kebanggan batin yang tak ternilai harganya.[15]
Penjagaan nama baik erat hubungannya dengan tingkah laku atau perbuatan. Atau boleh dikatakan nama baik atau tidak baik itu adalah tingkah laku atau perbuatannya. Yang dimaksud dengan tingkah laku atau perbuatan itu, antara lain cara berbahasa, cara bergaul, sopan-santun, disiplin pribadi, cara menghadapi orang, serta perbuatan-perbuatan yang dihalalkan agama dan sebagainya.[16]
Tingkah laku atau perbuatan yang baik dengan nama baik itu pada hakikatnya sesuai dengan kodrat manusia, yaitu :
§  Manusia menurut sifat dasarnya adalah makhluk moral.
§  Ada aturan-aturan yang berdiri sendiri yang harus dipatuhi manusia untuk mewujudkan dirinya sendiri sebagai pelaku moral tersebut.
Pada hakikatnya pemulihan nama baik adalah kesadaran manusia akan segala kesalahannya; bahwa apa yang diperbuatnya tidak sesuai dengan ukuran moral atau tidak sesuai akhlak.

5.      Pembalasan
Pembalasan adalah suatu reaksi atas perbuatan orang lain. Reaksi itu dapat berupa perbuatan yang serupa, perbuatan yang seimbang.[17] Dalam Al- Qur’an pun terdapat ayat-ayat bahwa Tuhan mengadakan pembalasan. Bagi yang bertakwa kepada Tuhan diberikan pembalasan dan bagi yang mengingkari perintah Tuhan diberikan balasan yang seimbang yaitu siksaan di neraka.[18]
Pembalasan disebabkan oleh pergaulan. Pergaulan yang bersahabat mendapatkan balasan yang bersahabat. Begitu pula sebaliknya, pergaulan yang penuh kecurigaan menimbulkan balasan yang tidak bersahabat.[19]
Pada dasarnya manusia adalah makhluk moral dan makhluk sosial. Dalam bergaul, manusia harus mematuhi norma-norma untuk mewujudkan moral itu. Bila manusia berbuat amoral, lingkunganlah yang menyebabkannya. Perbuatan amoral pada hakikatnya adalah perbuatan yang melanggar hak dan kewajiban manusia lain.[20]

MANUSIA DAN KEADILAN

Lain halnya dengan penderitaan, keadilan ini ternyata selalu menjadi dambaan setiap manusia. Tepatlah dengan peribahasa “Raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah”. Ternyata keadilan bukan hanya didambakan, namun juga diagungkan.
Pastilah masalah keadilan sosial akan terus dicari dan diperjuangkan manusia sampai kapanpun; sebab masalah keadilan hakikatnya adalah masalah “kemanusiaan”. Bukan sekedar menyangkut, melainkan justru asasi kemanusiaan.[21]




























PENUTUP


Simpulan :

Ø    Keadilan adalah pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban.
Ø    Oleh W.J.S. Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia mengartikan kata adil dengan tidak berat sebelah atau tidak memihak. Dengan demikian, tidaklah terlalu meleset jauh apabila keadilan kita artikan dengan keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Ø    Berbuat adil berarti menghargai atau menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Berbuat tidak adil berarti menginjak-injak harkat dan martabat manusia; sebab dengan berbuat demikian ada manusia yang dirugikan. Berbuat demikian berarti menganggap manusia lebih rendah atau lebih tinggi daripada yang lain; padahal hakikatnya manusia itu sama. Hal ini ditegaskan oleh sabda Rasulullah demikian : “Pada hari pembalasan nanti, orang yang berbuat adil akan terlindung dari siksaan Allah.” (HR.Bukhari Muslim). Selain itu Allah telah berfirman dalam Al-Qur’an, surat An-Nisa’ ayat 135 yang artinya : “Wahai orang-orang yang beriman jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu.”








DAFTAR PUSTAKA
Mustofa, Ahmad, Drs., H. 1999. Ilmu Budaya Dasar. Bandung: Pustaka Setia.
Notowidagdo, Rohiman, Drs., H. 1996. Ilmu Budaya Dasar Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Prasetya, Joko Tri, Drs., dkk. 1991. Ilmu Budaya Dasar MKDU. Jakarta: Rineka Cipta.
Widagdho, Joko, Drs., dkk. 2003. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara.



















[1]Rohiman Notowidagdo, Ilmu Budaya Dasar Berdasarkan Al qur’an dan Hadits, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), h. 119.
[2]Ahmad Mustofa, Ilmu Budaya Dasar, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 106.
[3]Joko Tri Prasetya, dkk, Ilmu Budaya Dasar MKDU, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), h. 136.
[4] Ahmad Mustofa, op. cit., h. 107.
[5] ibid.
[6]Joko Tri Prasetya, dkk, op. cit., h. 136-137.
[7]ibid, h. 138.
[8]Rohiman Notowidagdo, op. cit., h. 123.
[9]Djoko Widagdho, dkk, Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), h. 116.
[10]Ahmad Mustofa, op. cit., h. 110.
[11]Joko Tri Prasetya, dkk, op. cit., h. 139.
[12]Djoko Widagdho, dkk, op. cit., h. 117.
[13]Joko Tri Prasetya, dkk, op. cit., h. 140
[14] ibid, h. 142.
[15]Djoko Widagdho, dkk, op. cit., h. 120.
[16]Joko Tri Prasetya, dkk, op. cit., h. 143.
[17] ibid, h. 145.
[18]Djoko Widagdho, dkk, op. cit., h. 122.
[19]Ahmad Mustofa, op. cit., h. 112.
[20]Joko Tri Prasetya, dkk, op. cit., h. 146.
[21]Djoko Widagdho, dkk, op. cit., h. 123.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar