MANUSIA DAN KEADILAN
PENDAHULUAN
Manusia sebagai makhluk Tuhan adalah makhluk tertinggi yang memiliki
gejala-gejala istimewa yang hanya terdapat pada manusia saja, dan tidak
terdapat pada benda mati ataupun benda hidup seperti pada hewan ataupun
tumbuh-tumbuhan. Gejala-gejala istimewa itu bisa kita golongkan menjadi tiga
jenis yang disebut akal, rasa, dan kehendak akal. Rasa dan kehendak ini menyatu
dalam diri manusia yang terdiri atas manunggalnya jiwa dan raga yang kemudian
menjadikan sumber-sumber kemampuan, kecerdasan ataupun kecakapan manusia dalam
mengatur hidupnya. Sumber kemampuan inilah yang menjadikan manusia sebagai
pencipta yang kedua sesudah Tuhan.
Di dalam mengatur hubungan kodrat manusia, perlu adanya keserasian,
keseimbangan, kesesuaian ataupun kesamaan dalam tingkah laku baik untuk
kepentingan pribadi (individu) ataupun untuk kepentingan masyarakat. Kemampuan
yang demikian itu, menjelma sebagai tingkah laku adil yang kemudian menjadi
tujuan umat manusia dalam mengatur kehidupannya. Oleh sebab itu, tingkah laku adil
atau keadilan menjadi tumpuan harapan manusia, semua orang menghendaki
keadilan.
PEMBAHASAN
1. Makna Keadilan
Keadilan
adalah pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban. Jika
kita mengakui hak hidup kita, maka sebaliknya, kita wajib mempertahankan hak
hidup tersebut dengan bekerja keras tanpa merugikan orang lain. Sebab orang
lain pun mempunyai hak hidup seperti itu. Jika pun kita mengakui hak hidup
orang lain, kita wajib memberikan kesempatan kepada orang lain itu untuk
mempertahankan hak hidupnya, sebagaimana kita mempertahankan hak hidup kita
sendiri. Jadi keadilan pada pokoknya terletak pada keseimbangan atau
keharmonisan antara menuntut hak dan menjalankan kewajiban.[1]
Sedangkan
menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia
susunan W.J.S. Poerwadarminta, kata adil berarti tidak berat sebelah atau tidak
memihak ataupun tidak sewenang-wenang. Dengan demikian, keadilan mengandung
pengertian berbagai hal yang tidak berat sebelah atau tidak memihak atau tidak
sewenang-wenang.[2]
Orang
yang berbuat adil, kebalikan dari fasiq.
Adil adalah sendi pokok didalam soal hukum. Setiap orang harus merasakan
keadilan. Perbedaan tingkat dan kedudukan sosial, perbedaan derajat dan
keturunan, tidak boleh dijadikan sebagai alasan untuk memperbedakan hak
seseorang di hadapan hukum, baik hukum Tuhan maupun hukum yang dibuat manusia.
Adil tidak hanya idaman manusia, tetapi juga diperintahkan oleh Tuhan dalam QS.
Al-Maidah: 42 dan QS. Al-Maidah: 49.[3]
Keadilan
pada umumnya perlu diperoleh bahkan kalau terpaksa dituntut. Akan tetapi, untuk
memperoleh keadilan biasanya diperlukan pihak ketiga sebagai penengah. Dengan
harapan, pihak ketiga ini dapat bertindak adil terhadap pihak yang
berselisih. Ia
harus netral, tidak boleh menguntungkan satu pihak. Pihak ketiga sangat
diperlukan karena tanpa kehadirannya, pihak yang berselisih akan bersifat
konfrontatif yang bila dibiarkan dapat mengarah pada kekerasan.[4]
Manusia
sebagai makhluk berakal budi, berjasmani dan sebagai makhluk sosial, dalam
hubungannya dengan sesama akan mudah mengalami konflik. Untuk menghindari hal
tersebut, diciptakanlah hukum yang mempunyai fungsi dasar untuk mencegah agar
konflik kepentingan itu dipecahkan dalam konflik terbuka. Pemecahannya bukan
atas dasar siapa yang kuat, melainkan berdasarkan aturan (hukum) yang tidak
membedakan antara orang kuat dan orang lemah. Karena, setiap masyarakat
memerlukan hukum, maka dikatakanlah bahwa dimana ada masyarakat disana ada
hukum (ubi societeas ini ius).[5]
Ditinjau
dari bentuk ataupun sifat-sifatnya, keadilan dapat dikelompokkan menjadi 3
jenis :
a.
Keadilan legal atau keadilan moral.
b.
Keadilan Distributif.
c.
Keadilan Komutatif.[6]
2. Kejujuran
Kejujuran atau jujur artinya apa yang dikatakan seseorang sesuai dengan
hati nuraninya, apa yang dikatakannya sesuai dengan kenyataan yang ada. Sedang
kenyataan yang ada itu adalah kenyataan yang benar-benar ada. Jujur juga
berarti seseorang bersih hatinya dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh
agama dan hukum. Untuk itu, dituntut satu kata dan perbuatan, yang berarti bahwa
apa yang dikatakan harus sama dengan perbuatannya.[7]
Belajarlah
bersifat jujur, sebab kejujuran mewujudkan keadilan, sedang keadilan maupun
kemuliaan adalah abadi. Jujur memberikan keberanian dan ketentraman hati, serta
menyucikan, lagi pula membuat luhurnya budi pekerti.[8]
Pada
hakikatnya jujur atau kejujuran dilandasi oleh kesadaran moral yang tinggi,
kesadaran pengakuan akan adanya persamaan hak dan kewajiban, serta adanya rasa
takut terhadap kesalahan atau dosa.[9]
Untuk
mempertahankan kejujuran, berbagai cara dan sikap perlu dipupuk. Namun, demi
sopan santun dan pendidikan, orang diperbolehkan berkata tidak jujur sampai batas-batas
yang dapat dibenarkan.[10]
3. Kecurangan
Kecurangan
atau curang identik dengan ketidakjujuran atau tidak jujur, dan sama pula dengan
licik, meskipun tidak serupa benar. Sudah tentu kecurangan sebagai lawan jujur.
Curang atau kecurangan artinya apa yang dikatakan tidak sesuai dengan hati
nuraninya. Atau orang itu memang dari hatinya sudah berniat curang dengan
maksud memperoleh keuntungan tanpa bertenaga dan usaha.[11]
Kecurangan
menyebabkan manusia menjadi serakah, tamak, ingin menimbun kekayaan yang
berlebihan dengan tujuan agar dianggap sebagi orang yang paling hebat, paling
kaya, dan senang bila masyarakat disekelilingnya hidup menderita. Orang seperti
itu biasanya tidak senang bila ada yang melebihi kekayaannya. Padahal agama
apapun tidak membenarkan orang mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya tanpa
menghiraukan orang lain, lebih pula mengumpulkan harta dengan jalan curang. Hal
semacam ini dalam istilah agama tidak diridhai Tuhan.[12]
Bermacam-macam
sebab orang melakukan kecurangan. Ditinjau dari hubungan manusia dengan alam
sekitarnya, ada empat aspek yakni aspek ekonomi, aspek kebudayaan, aspek
peradaban, dan aspek teknik. Apabila keempat aspek tersebut dilaksanakan secara
wajar, maka segalanya akan berjalan sesuai dengan norma-norma moral atau norma
hukum. Akan tetapi, apabila manusia dalam hatinya telah digerogoti jiwa tamak,
iri, dengki, maka manusia akan melakukan perbuatan yang melanggar norma
tersebut, dan terjadilah kecurangan.[13]
Kecurangan
banyak menimbulkan daya kreativitas bagi seniman. Oleh karena itu, banyak hasil
seni yang lahir dari imajinasi kecurangan. Hasil seni itu, antara lain seni
tari (sendratari), seni sastra (novel, roman, cerpen), drama, film dan
lain-lain.[14]
4. Pemulihan Nama Baik
Nama baik adalah nama yang tidak tercela.
Setiap orang menjaga dengan hati-hati agar namanya tetap baik. Lebih-lebih jika
ia menjadi teladan bagi orang/tetangga disekitarnya adalah suatu kebanggan
batin yang tak ternilai harganya.[15]
Penjagaan
nama baik erat hubungannya dengan tingkah laku atau perbuatan. Atau boleh
dikatakan nama baik atau tidak baik itu adalah tingkah laku atau perbuatannya.
Yang dimaksud dengan tingkah laku atau perbuatan itu, antara lain cara
berbahasa, cara bergaul, sopan-santun, disiplin pribadi, cara menghadapi orang,
serta perbuatan-perbuatan yang dihalalkan agama dan sebagainya.[16]
Tingkah
laku atau perbuatan yang baik dengan nama baik itu pada hakikatnya sesuai dengan
kodrat manusia, yaitu :
§
Manusia menurut sifat
dasarnya adalah makhluk moral.
§
Ada aturan-aturan yang berdiri sendiri yang
harus dipatuhi manusia untuk mewujudkan dirinya sendiri sebagai pelaku moral
tersebut.
Pada
hakikatnya pemulihan nama baik adalah kesadaran manusia akan segala
kesalahannya; bahwa apa yang diperbuatnya tidak sesuai dengan ukuran moral atau
tidak sesuai akhlak.
5. Pembalasan
Pembalasan adalah suatu reaksi atas perbuatan orang lain. Reaksi itu
dapat berupa perbuatan yang serupa, perbuatan yang seimbang.[17]
Dalam Al- Qur’an pun terdapat ayat-ayat bahwa Tuhan mengadakan pembalasan. Bagi
yang bertakwa kepada Tuhan diberikan pembalasan dan bagi yang mengingkari
perintah Tuhan diberikan balasan yang seimbang yaitu siksaan di neraka.[18]
Pembalasan disebabkan oleh pergaulan. Pergaulan yang bersahabat
mendapatkan balasan yang bersahabat. Begitu pula sebaliknya, pergaulan yang
penuh kecurigaan menimbulkan balasan yang tidak bersahabat.[19]
Pada dasarnya manusia adalah makhluk moral dan makhluk sosial. Dalam
bergaul, manusia harus mematuhi norma-norma untuk mewujudkan moral itu. Bila
manusia berbuat amoral, lingkunganlah yang menyebabkannya. Perbuatan amoral
pada hakikatnya adalah perbuatan yang melanggar hak dan kewajiban manusia lain.[20]
MANUSIA DAN KEADILAN
Lain halnya dengan penderitaan, keadilan ini ternyata selalu menjadi
dambaan setiap manusia. Tepatlah dengan peribahasa “Raja adil raja disembah,
raja lalim raja disanggah”. Ternyata keadilan bukan hanya didambakan, namun
juga diagungkan.
Pastilah masalah keadilan sosial akan terus dicari dan diperjuangkan
manusia sampai kapanpun; sebab masalah keadilan hakikatnya adalah masalah
“kemanusiaan”. Bukan sekedar menyangkut, melainkan justru asasi kemanusiaan.[21]
PENUTUP
Simpulan :
Ø
Keadilan adalah pengakuan
dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban.
Ø
Oleh W.J.S. Poerwadarminta
dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia mengartikan kata adil dengan tidak berat
sebelah atau tidak memihak. Dengan demikian, tidaklah terlalu meleset jauh
apabila keadilan kita artikan dengan keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Ø
Berbuat adil berarti
menghargai atau menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Berbuat tidak
adil berarti menginjak-injak harkat dan martabat manusia; sebab dengan berbuat demikian
ada manusia yang dirugikan. Berbuat demikian berarti menganggap manusia lebih
rendah atau lebih tinggi daripada yang lain; padahal hakikatnya manusia itu
sama. Hal ini ditegaskan oleh sabda Rasulullah demikian : “Pada hari pembalasan
nanti, orang yang berbuat adil akan terlindung dari siksaan Allah.” (HR.Bukhari
Muslim). Selain itu Allah telah berfirman dalam Al-Qur’an, surat An-Nisa’ ayat 135 yang artinya : “Wahai
orang-orang yang beriman jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan,
menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan
kaum kerabatmu.”
DAFTAR PUSTAKA
Mustofa, Ahmad, Drs., H. 1999. Ilmu Budaya Dasar. Bandung: Pustaka Setia.
Notowidagdo, Rohiman, Drs., H. 1996. Ilmu
Budaya Dasar Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Prasetya, Joko Tri, Drs., dkk. 1991. Ilmu
Budaya Dasar MKDU. Jakarta:
Rineka Cipta.
Widagdho, Joko, Drs., dkk. 2003. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta:
Bumi Aksara.
[1]Rohiman
Notowidagdo, Ilmu Budaya Dasar
Berdasarkan Al qur’an dan Hadits, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), h.
119.
[2]Ahmad
Mustofa, Ilmu Budaya Dasar, (Bandung:
Pustaka Setia, 1999), h. 106.
[3]Joko
Tri Prasetya, dkk, Ilmu Budaya Dasar
MKDU, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), h. 136.
[4] Ahmad
Mustofa, op. cit., h. 107.
[5] ibid.
[6]Joko Tri
Prasetya, dkk, op. cit., h. 136-137.
[7]ibid, h. 138.
[8]Rohiman
Notowidagdo, op. cit., h. 123.
[9]Djoko
Widagdho, dkk, Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta: Bumi Aksara,
2003), h. 116.
[10]Ahmad
Mustofa, op. cit., h. 110.
[11]Joko Tri
Prasetya, dkk, op. cit., h. 139.
[12]Djoko
Widagdho, dkk, op. cit., h. 117.
[13]Joko Tri
Prasetya, dkk, op. cit., h. 140
[14] ibid, h. 142.
[15]Djoko
Widagdho, dkk, op. cit., h. 120.
[16]Joko Tri
Prasetya, dkk, op. cit., h. 143.
[17] ibid,
h. 145.
[18]Djoko
Widagdho, dkk, op. cit., h. 122.
[19]Ahmad
Mustofa, op. cit., h. 112.
[20]Joko Tri
Prasetya, dkk, op. cit., h. 146.
[21]Djoko
Widagdho, dkk, op. cit., h. 123.