Minggu, 25 Maret 2012

makalah IBD

MANUSIA DAN KEADILAN


PENDAHULUAN

Manusia sebagai makhluk Tuhan adalah makhluk tertinggi yang memiliki gejala-gejala istimewa yang hanya terdapat pada manusia saja, dan tidak terdapat pada benda mati ataupun benda hidup seperti pada hewan ataupun tumbuh-tumbuhan. Gejala-gejala istimewa itu bisa kita golongkan menjadi tiga jenis yang disebut akal, rasa, dan kehendak akal. Rasa dan kehendak ini menyatu dalam diri manusia yang terdiri atas manunggalnya jiwa dan raga yang kemudian menjadikan sumber-sumber kemampuan, kecerdasan ataupun kecakapan manusia dalam mengatur hidupnya. Sumber kemampuan inilah yang menjadikan manusia sebagai pencipta yang kedua sesudah Tuhan.
Di dalam mengatur hubungan kodrat manusia, perlu adanya keserasian, keseimbangan, kesesuaian ataupun kesamaan dalam tingkah laku baik untuk kepentingan pribadi (individu) ataupun untuk kepentingan masyarakat. Kemampuan yang demikian itu, menjelma sebagai tingkah laku adil yang kemudian menjadi tujuan umat manusia dalam mengatur kehidupannya. Oleh sebab itu, tingkah laku adil atau keadilan menjadi tumpuan harapan manusia, semua orang menghendaki keadilan.
















PEMBAHASAN

1.      Makna Keadilan
Keadilan adalah pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban. Jika kita mengakui hak hidup kita, maka sebaliknya, kita wajib mempertahankan hak hidup tersebut dengan bekerja keras tanpa merugikan orang lain. Sebab orang lain pun mempunyai hak hidup seperti itu. Jika pun kita mengakui hak hidup orang lain, kita wajib memberikan kesempatan kepada orang lain itu untuk mempertahankan hak hidupnya, sebagaimana kita mempertahankan hak hidup kita sendiri. Jadi keadilan pada pokoknya terletak pada keseimbangan atau keharmonisan antara menuntut hak dan menjalankan kewajiban.[1]
Sedangkan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S. Poerwadarminta, kata adil berarti tidak berat sebelah atau tidak memihak ataupun tidak sewenang-wenang. Dengan demikian, keadilan mengandung pengertian berbagai hal yang tidak berat sebelah atau tidak memihak atau tidak sewenang-wenang.[2]
Orang yang berbuat adil, kebalikan dari fasiq. Adil adalah sendi pokok didalam soal hukum. Setiap orang harus merasakan keadilan. Perbedaan tingkat dan kedudukan sosial, perbedaan derajat dan keturunan, tidak boleh dijadikan sebagai alasan untuk memperbedakan hak seseorang di hadapan hukum, baik hukum Tuhan maupun hukum yang dibuat manusia. Adil tidak hanya idaman manusia, tetapi juga diperintahkan oleh Tuhan dalam QS. Al-Maidah: 42 dan QS. Al-Maidah: 49.[3]
Keadilan pada umumnya perlu diperoleh bahkan kalau terpaksa dituntut. Akan tetapi, untuk memperoleh keadilan biasanya diperlukan pihak ketiga sebagai penengah. Dengan harapan, pihak ketiga ini dapat bertindak adil terhadap pihak yang
berselisih. Ia harus netral, tidak boleh menguntungkan satu pihak. Pihak ketiga sangat diperlukan karena tanpa kehadirannya, pihak yang berselisih akan bersifat konfrontatif yang bila dibiarkan dapat mengarah pada kekerasan.[4]
Manusia sebagai makhluk berakal budi, berjasmani dan sebagai makhluk sosial, dalam hubungannya dengan sesama akan mudah mengalami konflik. Untuk menghindari hal tersebut, diciptakanlah hukum yang mempunyai fungsi dasar untuk mencegah agar konflik kepentingan itu dipecahkan dalam konflik terbuka. Pemecahannya bukan atas dasar siapa yang kuat, melainkan berdasarkan aturan (hukum) yang tidak membedakan antara orang kuat dan orang lemah. Karena, setiap masyarakat memerlukan hukum, maka dikatakanlah bahwa dimana ada masyarakat disana ada hukum (ubi societeas ini ius).[5]
Ditinjau dari bentuk ataupun sifat-sifatnya, keadilan dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis :
a.       Keadilan legal atau keadilan moral.
b.      Keadilan Distributif.
c.       Keadilan Komutatif.[6]

2.      Kejujuran
Kejujuran atau jujur artinya apa yang dikatakan seseorang sesuai dengan hati nuraninya, apa yang dikatakannya sesuai dengan kenyataan yang ada. Sedang kenyataan yang ada itu adalah kenyataan yang benar-benar ada. Jujur juga berarti seseorang bersih hatinya dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama dan hukum. Untuk itu, dituntut satu kata dan perbuatan, yang berarti bahwa apa yang dikatakan harus sama dengan perbuatannya.[7]
Belajarlah bersifat jujur, sebab kejujuran mewujudkan keadilan, sedang keadilan maupun kemuliaan adalah abadi. Jujur memberikan keberanian dan ketentraman hati, serta menyucikan, lagi pula membuat luhurnya budi pekerti.[8]
Pada hakikatnya jujur atau kejujuran dilandasi oleh kesadaran moral yang tinggi, kesadaran pengakuan akan adanya persamaan hak dan kewajiban, serta adanya rasa takut terhadap kesalahan atau dosa.[9]
Untuk mempertahankan kejujuran, berbagai cara dan sikap perlu dipupuk. Namun, demi sopan santun dan pendidikan, orang diperbolehkan berkata tidak jujur sampai batas-batas yang dapat dibenarkan.[10]

3.      Kecurangan
Kecurangan atau curang identik dengan ketidakjujuran atau tidak jujur, dan sama pula dengan licik, meskipun tidak serupa benar. Sudah tentu kecurangan sebagai lawan jujur. Curang atau kecurangan artinya apa yang dikatakan tidak sesuai dengan hati nuraninya. Atau orang itu memang dari hatinya sudah berniat curang dengan maksud memperoleh keuntungan tanpa bertenaga dan usaha.[11]
Kecurangan menyebabkan manusia menjadi serakah, tamak, ingin menimbun kekayaan yang berlebihan dengan tujuan agar dianggap sebagi orang yang paling hebat, paling kaya, dan senang bila masyarakat disekelilingnya hidup menderita. Orang seperti itu biasanya tidak senang bila ada yang melebihi kekayaannya. Padahal agama apapun tidak membenarkan orang mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya tanpa menghiraukan orang lain, lebih pula mengumpulkan harta dengan jalan curang. Hal semacam ini dalam istilah agama tidak diridhai Tuhan.[12]
Bermacam-macam sebab orang melakukan kecurangan. Ditinjau dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya, ada empat aspek yakni aspek ekonomi, aspek kebudayaan, aspek peradaban, dan aspek teknik. Apabila keempat aspek tersebut dilaksanakan secara wajar, maka segalanya akan berjalan sesuai dengan norma-norma moral atau norma hukum. Akan tetapi, apabila manusia dalam hatinya telah digerogoti jiwa tamak, iri, dengki, maka manusia akan melakukan perbuatan yang melanggar norma tersebut, dan terjadilah kecurangan.[13]
Kecurangan banyak menimbulkan daya kreativitas bagi seniman. Oleh karena itu, banyak hasil seni yang lahir dari imajinasi kecurangan. Hasil seni itu, antara lain seni tari (sendratari), seni sastra (novel, roman, cerpen), drama, film dan lain-lain.[14]

4.      Pemulihan Nama Baik
  Nama baik adalah nama yang tidak tercela. Setiap orang menjaga dengan hati-hati agar namanya tetap baik. Lebih-lebih jika ia menjadi teladan bagi orang/tetangga disekitarnya adalah suatu kebanggan batin yang tak ternilai harganya.[15]
Penjagaan nama baik erat hubungannya dengan tingkah laku atau perbuatan. Atau boleh dikatakan nama baik atau tidak baik itu adalah tingkah laku atau perbuatannya. Yang dimaksud dengan tingkah laku atau perbuatan itu, antara lain cara berbahasa, cara bergaul, sopan-santun, disiplin pribadi, cara menghadapi orang, serta perbuatan-perbuatan yang dihalalkan agama dan sebagainya.[16]
Tingkah laku atau perbuatan yang baik dengan nama baik itu pada hakikatnya sesuai dengan kodrat manusia, yaitu :
§  Manusia menurut sifat dasarnya adalah makhluk moral.
§  Ada aturan-aturan yang berdiri sendiri yang harus dipatuhi manusia untuk mewujudkan dirinya sendiri sebagai pelaku moral tersebut.
Pada hakikatnya pemulihan nama baik adalah kesadaran manusia akan segala kesalahannya; bahwa apa yang diperbuatnya tidak sesuai dengan ukuran moral atau tidak sesuai akhlak.

5.      Pembalasan
Pembalasan adalah suatu reaksi atas perbuatan orang lain. Reaksi itu dapat berupa perbuatan yang serupa, perbuatan yang seimbang.[17] Dalam Al- Qur’an pun terdapat ayat-ayat bahwa Tuhan mengadakan pembalasan. Bagi yang bertakwa kepada Tuhan diberikan pembalasan dan bagi yang mengingkari perintah Tuhan diberikan balasan yang seimbang yaitu siksaan di neraka.[18]
Pembalasan disebabkan oleh pergaulan. Pergaulan yang bersahabat mendapatkan balasan yang bersahabat. Begitu pula sebaliknya, pergaulan yang penuh kecurigaan menimbulkan balasan yang tidak bersahabat.[19]
Pada dasarnya manusia adalah makhluk moral dan makhluk sosial. Dalam bergaul, manusia harus mematuhi norma-norma untuk mewujudkan moral itu. Bila manusia berbuat amoral, lingkunganlah yang menyebabkannya. Perbuatan amoral pada hakikatnya adalah perbuatan yang melanggar hak dan kewajiban manusia lain.[20]

MANUSIA DAN KEADILAN

Lain halnya dengan penderitaan, keadilan ini ternyata selalu menjadi dambaan setiap manusia. Tepatlah dengan peribahasa “Raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah”. Ternyata keadilan bukan hanya didambakan, namun juga diagungkan.
Pastilah masalah keadilan sosial akan terus dicari dan diperjuangkan manusia sampai kapanpun; sebab masalah keadilan hakikatnya adalah masalah “kemanusiaan”. Bukan sekedar menyangkut, melainkan justru asasi kemanusiaan.[21]




























PENUTUP


Simpulan :

Ø    Keadilan adalah pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban.
Ø    Oleh W.J.S. Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia mengartikan kata adil dengan tidak berat sebelah atau tidak memihak. Dengan demikian, tidaklah terlalu meleset jauh apabila keadilan kita artikan dengan keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Ø    Berbuat adil berarti menghargai atau menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Berbuat tidak adil berarti menginjak-injak harkat dan martabat manusia; sebab dengan berbuat demikian ada manusia yang dirugikan. Berbuat demikian berarti menganggap manusia lebih rendah atau lebih tinggi daripada yang lain; padahal hakikatnya manusia itu sama. Hal ini ditegaskan oleh sabda Rasulullah demikian : “Pada hari pembalasan nanti, orang yang berbuat adil akan terlindung dari siksaan Allah.” (HR.Bukhari Muslim). Selain itu Allah telah berfirman dalam Al-Qur’an, surat An-Nisa’ ayat 135 yang artinya : “Wahai orang-orang yang beriman jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu.”








DAFTAR PUSTAKA
Mustofa, Ahmad, Drs., H. 1999. Ilmu Budaya Dasar. Bandung: Pustaka Setia.
Notowidagdo, Rohiman, Drs., H. 1996. Ilmu Budaya Dasar Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Prasetya, Joko Tri, Drs., dkk. 1991. Ilmu Budaya Dasar MKDU. Jakarta: Rineka Cipta.
Widagdho, Joko, Drs., dkk. 2003. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara.



















[1]Rohiman Notowidagdo, Ilmu Budaya Dasar Berdasarkan Al qur’an dan Hadits, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), h. 119.
[2]Ahmad Mustofa, Ilmu Budaya Dasar, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 106.
[3]Joko Tri Prasetya, dkk, Ilmu Budaya Dasar MKDU, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), h. 136.
[4] Ahmad Mustofa, op. cit., h. 107.
[5] ibid.
[6]Joko Tri Prasetya, dkk, op. cit., h. 136-137.
[7]ibid, h. 138.
[8]Rohiman Notowidagdo, op. cit., h. 123.
[9]Djoko Widagdho, dkk, Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), h. 116.
[10]Ahmad Mustofa, op. cit., h. 110.
[11]Joko Tri Prasetya, dkk, op. cit., h. 139.
[12]Djoko Widagdho, dkk, op. cit., h. 117.
[13]Joko Tri Prasetya, dkk, op. cit., h. 140
[14] ibid, h. 142.
[15]Djoko Widagdho, dkk, op. cit., h. 120.
[16]Joko Tri Prasetya, dkk, op. cit., h. 143.
[17] ibid, h. 145.
[18]Djoko Widagdho, dkk, op. cit., h. 122.
[19]Ahmad Mustofa, op. cit., h. 112.
[20]Joko Tri Prasetya, dkk, op. cit., h. 146.
[21]Djoko Widagdho, dkk, op. cit., h. 123.

makalah etika

PENDAHULUAN

A.          Latar Belakang
Etika termasuk ilmu pengetahuan tentang asas-asas tingkah laku yang salah satunya berarti juga sebagai ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, dimana mempelajari tentang segala soal kebaikan dalam hidup manusia semuanya, mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan perasaan sampai mengenai tujuannya yang dapat merupakan perbuatan yang terkait tentang baik dan buruk dalam tingkah laku manusia.
Dari segala ini diselidiki oleh Etika, suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh setengah manusia kepada lainnya, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia.di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.
Dan dalam pelaksanaannya itu muncul berbagai pokok persoalan etika yang terjadi dalam masyarakat.[1]
B.           Rumusan Masalah
Persoalan Etika yang muncul mengakibatkan kita memberi hukum kepada beberapa perbuatan bahwa “ia baik atau buruk, benar atau salah, hak atau batal”. Dimana hukum ini merata diantara manusia, baik yang tinggi kedudukannya maupun yang rendah, baik perbuatan besar atau kecil. Maka, apakah artinya “baik atau buruk?” dalam persoalan etika dan bagaimana kita memutuskan untuk memberi hukum “baik atau buruk?”.





PEMBAHASAN

1.            Definisi Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu ethos dalam bentuk tugggal artinya: tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap dan cara berfikir. Sedangkan dalam bentuk jamak ta etha artinya: adat kebiasaan. Sehingga etika dapat diartikan sebagai suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk. Tetapi tidak semua perbuatan dapat diberi hukum baik atau buruk. Hanya perbuatan yang timbul karena kehendak diri sendiri yang dapat diberi hukum baik dan buruk. Sedangkan perbuatan yang dilakukan bukan karena kehendak diri sendiri, tidak dapat diberi hukum baik dan buruk.
2.            Sebab Munculnya Pokok Persoalan Etika
Perbuatan manusia itu ada yang timbul tanpa kehendak, seperti bernapas, detak jantung dan memicingkan mata dengan tiba-tiba waktu berpindah dari gelap ke cahaya, maka inilah bukan pokok persoalan Etika, dan tidak dapat memberi hukum “baik atau buruk”, dan bagi yang menjalankan tidak dapat kita sebut orang yang baik atau buruk, dan tidak dapat dituntut.
Namun ada pula perbuatan yang timbul karena kehendak dan setelah dipikir masak-masak akan buah dan akibatnya, dimana telah dipikirkan cara-caranya dengan tenang. Kemudian ia melakukan apa yang telah ia kehendaki. Inilah perbuatan yang disebut perbuatan kehendak. Perbuatan mana yang diberi hukum baik atau buruk dan segala perbuatan manusia diperhitungkan atas dasar itu. Inilah sebab timbulnya pokok persoalan etika dimana ada kehendak yang dapat dipertanggaungjawabkan atau dituntut.
Maka singkatnya bahwa pokok persoalan Etika ialah segala perbuatan yang timbul dari orang yang melakukan dengan ikhtiar dan sengaja, dan ia mengetahui waktu melakukannya apa yang ia perbuat. Inilah yang dapat kita beri hukum “baik atau buruk”, demikian juga segala perbuatan yang timbul tidak dengan kehendak, tetapi dapat diikhtiarkan penjagaan sewaktu sadar.[2]
3.            Persoalan tentang Nilai Etika
Etika, cabang Aksiologi yang mempersoalkan predikat nilai “baik dan buruk” dalam arti susila, atau tidak susila. Sebagai masalah khusus, Etika juga mempersoalkan sifat-sifat yang menyebabkan seseorang berhak, untuk disebut susila atau bijak. Sifat-sifat tersebut dinamakan “kebajikan” lawannya “keburukan”. Banyak pembicaraan tentang Etika yang tidak pernah menyinggung masalah yang sebenarnya, karena banyak yang mendasarkan diri pada prinsip pembenaran yang sama sekali berbeda. Seseorang mendasarkan pada kefaedahan, pencegahan keburukan dan lain sebagainya. Etika lebih menaruh perhatian pada pembicaraan tentang prinsip pembenaran daripada tentang keputusan yang sungguh-sungguh telah diadakan. Etika tidak akan memberikan kepada Anda arah yang khusus atau pedoman yang tegas dan tetap tentang bagaimana caranya untuk hidup dengan bijak.
Suatu kenyataan bahwa persoalan tentang hidup manusia yang paling fundamental ini, masih begitu jauh dari penyelesaian, meskipun persoalan itu merupakan persoalan yang paling umum terjadi dan yang paling menarik perhatian.
Etika membahas tentang tingkah laku baik-buruknya manusia sejauh berkaiatan dengan kaidah yang berlaku. Cara untuk merumuskan hal yang sama tentang tingkah laku baik-buruk yaitu melalui berbagai pendekatan ilmiah sesuai bidang-bidangnya. Etika berdasarkan bidang-bidangnya dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu:
a.             Etika Deskriptif
Etika deskriptif menguraikan dan menjelaskan kesadaran manusia melalui pengalaman. Secara deskriptif pengalaman manusia dilakukan berdasarkan dari kenyataan bahwa ada berbagai fenomena tingkah laku yang dapat digambarkan dan diuraikan secara ilmiah. Oleh karena itu, etika deskriptif digolongkan ke dalam bidang ilmu pengetahuan empiris dan berhubungan erat dengan sosiologi. Dalam hubungannya dengan sosiologi, etika deskriptif berupaya menemukan dan menjelaskan kesadaran, keyakinan dan pengakuan secara deskriptif dalam suatu kultur tertentu.
Etika deskriptif melukiskan tingkah laku manusia dalam arti luas, misalnya adat kebiasaan anggapan-anggapan baik-buruk, tindakan-tindakan yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan. Juga mempelajari tingkah laku manusia yang terdapat pada individu-individu tertentu.[3]
b.            Etika Normatif
Etika dipandang sebagai suatu ilmu yang mengadakan ukuran atau norma yang dapat dipakai untuk menaggapi atau menilai perbuatan. Menerangkan tentang apa yang seharusnya terjadi dan apa yang harus dilakukan dan memungkinkan kita untuk mengukur dengan apa yang seharusnya terjadi. Etika normatif bersangkutan dengan penyelesaian ukuran kesusilaan yang benar.
Etika normatif menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia. Jadi, etika normatif merupakan norma-norma yang dapat menuntut manusia agar bertindak secara baik dan menghindarkan hal-hal yang buruk sesuai dengan kaidah atau norma yang disepakati dan berlaku di masyarakat. Etika normatif secara sistematis berusaha menyajikan dan membenarkan suatu sistem etika.[4]
4.            Persoalan Etika
a.            Persoalan Etika Teoritik
1.)          Etika teoritik membahas tentang asas-asas yang melandasi sistem kesusilaan.
Etika terapan membutuhkan banyak pengetahuan mengenai masalah yang dihadapi manusia sehari-hari. Contoh: masalah yang menyangkut pencemaran lingkungan tidak mungkin dapat semata-mata diselesaikan oleh ahli kesusilaan.
Suatu penalaran yang bersifat kesusilaan mencakup baik premise yang bercorak kesusilaan maupun yang bercorak kenyataan empirik. Ditinjau dari segi teori mungkin saja ada penalaran yang semata-mata menggunakan premise yang bercorak kesusilaan, namun dalam kenyataannya jarang terdapat.
·               Salah-satu diantara persoalan yang terdapat dalam Etika Teoritik adalah berbentuk pertanyaan. Apakah dapat dikatakan bahwa pada diri ummat manusia terdapat keseragaman asasi dalam hal keyakinan kemanusiaaan? Apakah pada dasarnya manusia mempunyai pendirian yang sama tentang baik dan buruk? Tingkat pertama tentu akan mendapat jawaban ingkar. Memang setiap manusia itu mempunyai pendirian di bidang kesusilaan, tetapi pertanyaan mengenai mana yang baik mana yang buruk tidak memperoleh jawaban yang sama di setiap tempat. Namun demi membela pendapat bahwa ada suatu kesusilaan yang bersifat “alami” yang merupakan ciri khas manusia, perlu diajukan alasan-alasan kuat untuk membenarkannya.
·               Persoalan lain, ialah bersangkutan dengan kebebasan manusia dan persoalan determinisme. Determinisme mengatakan bahwa segala sesuatu sudah ditentukan berdasarkan hukum sebab-akibat, dan ini harus pula diterapkan dalam Etika.
Dalam hal ini harus diakui bahwa manusia mengira melakukan perbuatan secara bebas, namun keadaan tersebut bersifat semu.
Sesungguhnya perbuatan yang dilakukan sepenuhnya ditentukan oleh pelbagai macam motif. Disamping itu watak kita ditentukan oleh asal-usul keturunan, lingkungan, dan lain sebagainya.   
2.)          Apakah perbuatan kesusilaan tergantung pada pandangan dunia? Apakah tergantung pada pandangan dunia yang kita anut? Secara sepintas orang cenderung untuk meng-iyakan. Bukanlah perbuatan kita diarahkan oleh pemikiran kita tentang manusia dan dunia.
Contoh: sebagai orang Islam kita akan memperlakuakan sesama manusia  sesuai dengan konsep Islam tentang manusia.
Namun sesungguhnya yang menjadi masalahnya, lebih rumit dari yang terfikir secara dangkal. Ternyata orang yang berlainan pandangan hidup dan pandangan dunia, ternyata dapat juga pada akhirnya mempunyai pandangan kesusilaan yang sama. Itu berarti:
-          Pandangan dunia, merupakan sumber ilham, tetapi bukan merupakan sumber bahan keterangan bagi manusia.
-           Dapat memberi daya kepada manusia untuk hidup secara baik, tetapi tidak mengatakan tentang apakah yang disebut baik itu.
Tetapi persoalannya adalah:
Perbuatan kesusilaaan disamping ditentukan oleh pandangan tentang kenyataan empirik, juga oleh pandangan tata urutan nilai. Pandangan kita tentang tata urutan nilai tersebut sudah tentu ditentukan oleh pandangan dunia serta pandangan keagamaan kita.
Tetapi kenyataannya pandangan dunia yang berlainan dapat sampai pada pandangan tentang tata urutan nilai yang kurang lebih sama. Secara demikian dapat terjadi bahwa penganut Islam, Kristen, Budha, bahkan Humanisme, Marxisme sama-sama memberikan nilai pokok pada manusia sebagai makhluk yang berkepribadian dan yang memiliki kebebasan.
Persoalan terpenting yang terdapat dalam Etika Teoritik ialah bagaimana cara orang menyusun sistem kesusilaannya. Dengan kata lain, yang dipertanyakan ialah mengenai dasar-dasar sistem tersebut. Apakah yang menjadikan suatu perbuatan atau suatu maksud tertentu, merupakan perbuatan dan maksud yang baik. Apakah kenikmatan hidup, faedah, wajib hidup dan lain-lain.
Sesungguhnya tidak ada satu pun sistem kesusilaan yang dapat menggantikan/menyisihkan tanggung jawab pribadi seseorang. Oleh karena itu, Filsafat Kesusilaan (Etika) merupakan suatu bidang yang secara sadar atau tidak harus diusahakan oleh setiap orang.
3.)          Disamping ada Etika Individual yaitu Etika yang menyangkut manusia sebagai perorangan saja, ada Etika sosial yang menyangkut hubungan antar-perorangan.
Disamping Etika membicarakan peningkatan kualiatas manusia perorangan, juga mempersoalkan umpamanya hubungan yang ada di lingkungan keluarga, problema perang, dan lain sebagainya.
Masalah yang Timbul dalam Etika Sosial:
-          Tujuan Etika itu memberitahukan bagaimana kita dapat menolong manusia di dalam kebutuhannya yang riil dengan cara yang susila dapat dipertanggungjawabkan. Guna mencapai tujuan ini, seorang Etikus Sosial tidak hanya harus tahu norma-norma susila yang berlaku, melainkan ia harus tahu pila kebutuhan yang tersebut tadi, dan sebab-sebab timbulnya kebutuhan tadi.
-          Dalam Etika Sosial lebih mudah timbul beragam pandangan dibandingkan Etika Individual. Norma-norma harus selalu diterapkan pada keadaan yang konkrit, setiap norma menjelmakan kewajiban. Kewajiban yang paling umum itu melakukan kebaikan.[5]
b.            Persoalan Etika Normatif
Etika Normatif, sebenarnya merupakan sebuah aturan yang mengarahkan secara konkrit, tentang bagaimana seharusnya bertingkah-laku.
Konsep kedilan itu baik, persahabatan itu baik, kebencian, permusuhan itu buruk yang semuanya bersifat abstrak universal, memerlukan penjabaran kriterianya.
Persoalan yang timbul adalah analisa meta-etika yang menanyakan relevansi Etika Normatif, dalam kedudukannya sebagai Etika makro. Pengalaman mengajarkan begitu nilai dasr dinormakan, maka akan kehilangan makna. Apakah pada dasarnya nilai-nilai dasar tidak membutuhkan “pelembagaan” khusus.
Persoalan baru yang muncul atas dasar apa perbuatan manusia dinilai. Manusia tidak dapat hidup tanpa pedoman. Benturan antara kebutuhan terhadap Etika Normatif dengan keterbatasannya mengisyaratkan adanya kaitan meta-etika dalam persoalan Etika Normatif.
Persoalan yang ingin dipecahkan adalah kenyataan bahwa masalah meta-etika memang tidak selalu menjamin kelurusan Etika Normatif, tetapi paling tidak ia tetap berfungsi sebagai petunjuk. Khususnya ketika suatu nilai dasar, sudah mulai dibuat sebagai norma yang tertutup. Etika Normatif yang seharusnya berfungsi sebagai petunjuk, menjadi bergerak ke arah sebaliknya.
Persoalan lain adalah menyangkut datangnya nilai dasar itu sendiri.
Ø   Tinjauan Teori-Teori Dasar Etika Normatif
1.      Ditinjau asal kejadiannya, Etika Normatif berkisar dalam dua pola dasar:
Pertama:
Teori Deontologis (Yunani: Deon, yang diharuskan, yang wajib) mengatakan bahwa betul salahnya tindakan tidak dapat ditentukan dari akibat-akibat tindakan itu melainkan ada cara bertindak yang begitu saja terlarang, atau begitu saja wajib.
Kedua:
Teori Teleologis (Yunani: Telos, Tujuan) mengatakan bahwa betul tidaknya tindakan justru tergantung dari akibat-akibatnya: kalau akibatnya baik, boleh atau bahkan wajib melakukan, kalau akibatnya buruk, tidak boleh.
         Antara teori deontologis dengan teori teleologis, dapat saling mengisi kelemahan masing-masing. Situasi khusus dari teri teleologis, dapat dijadikan dasar pertimbangan, interpretasi dari deontologis. Sebaliknya, kekhasan deontologis dapat dimanfaatkan untuk mengarahkkan teleologis, agar kepastian dalam menanggapi realitas dapat ditemui.
2.      Ditinjau dari sudut aspirasinya, ada dua pokok yang dapat digolongkan:
Pertama:
Sistem Etika yang dibangun dari “aspirasi atas”, disusun dari sesuatu yang transenden yang telah diakui kekuatan dan kebenarannya. Vertikal dan berlakunya mutlak. Sering ditemui dalam Etika keagamaan, yang melibatkan Tuhan dalam kerangka moralnya. Model ini mempunyai kelebihan dalam menjawab batas definit kemanusiaan, yaitu maut dan kehidupan sesudahnya. Disebut “Heteronomos” (Adam Schaaf),
-          Adanya faktor luar kekuatan manusia yang ikut campur dalam memecahkan problem manusia.
Kedua:
Sistem Etika yang disusun melalui “aspirasi bawah”.
Yang menjadi landasan adalah fenomena dan realita eksistensi manusia. Menurut sistem ini, tidak mungkin manusia akan tepat mengarahkan dirinya, jika ia tidak berangkat dari pengalaman hidupnya. Disebut “Autonomos” melalui “experience vacue” (Bergson).
Ø   Alternatif Sistem Etika Normatf
Problem Umum:
1.      Sejauh mana Etika Normatif mencerminkan nilai dasarnya, sehingga terbentuk peta norma moral yang bukan saja merupakan deretan rumus-rumus yang disodorkan secara baku begitu saja. Melainkan hasil olahan nilai dasar dan disajikan secara bijaksana.
2.      Sistem Etika, harus menghindarkan pengertian utopis (idealisme abstrak) yang terputus dari aspirasi kenyataan. Bagaimana nilai dasar dapat diimplementasikan dalam situasi nyata.
3.      Nilai-nilai sebagai aspirasi yang meliputi dan menjiwai norma. Dalam pelaksanaannya diperhitungkan syarat pendukung, kemampuan, situasi kondisi pelaksanaan.[6]



PENUTUP

Kesimpulan :
Ø   Definisi etika
Etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu ethos dalam bentuk tugggal artinya: tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap dan cara berfikir. Sedangkan dalam bentuk jamak ta etha artinya: adat kebiasaan.
Ø   Sebab munculnya pokok persoalan etika
Pokok persoalan Etika ialah segala perbuatan yang timbul dari orang yang melakukan dengan ikhtiar dan sengaja, dan ia mengetahui waktu melakukannya apa yang ia perbuat. Inilah yang dapat kita beri hukum “baik atau buruk”, demikian juga segala perbuatan yang timbul tidak dengan kehendak, tetapi dapat diikhtiarkan penjagaan sewaktu sadar
Ø   Persoalan tentang nilai etika
Etika deskriptif menguraikan dan menjelaskan kesadaran manusia melalui pengalaman. Sedangkan Etika normatif bersangkutan dengan penyelesaian ukuran kesusilaan yang benar.
Ø   Persoalan etika
Ada 2 persoalan yaitu persoalan etika teoritik dan persoalan etika normatif.








DAFTAR PUSTAKA

Dapar, Jan Hendrik. 1996. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Amin, Ahmad. 1995. Etika (Ilmu Akhlak). Jakarta: Bulan Bintang.
Abdullah, M. Yatimin. 2006. Pengantar Studi Etika. Jakarta: RajaGrafindo Persada.



[1] Jan Hendrik Dapar, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, Pus Wilayah, 1996), hlm. 62.
[2] Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 3-5.
[3] M.Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 593.
[4] Ibid, hlm. 594-595.
[5]Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995), hlm. 98-105.

[6]Ibid, hlm. 106-110.